Financial Inclusion: Upaya Mencegah Buruh Migran Keluar Negeri

Belum lama ini International Organization for Migration (IOM) mengeluarkan laporan yang memperkirakan, sekitar 500.000 tenaga kerja Indonesia diberangkatkan ke luar negeri setiap tahun, dan setengah di antaranya menjadi korban perdagangan manusia. Setiap tahun, jumlah ini terus bertambah seiring dengan terus berlangsungnya pengiriman tenaga kerja Indonesia ke beberapa negara di Asia.

Laporan IOM itu seolah mengonfirmasi buruknya penanganan buruh migran selama ini, sejak proses sebelum berangkat hingga pasca kepulangan mereka. Akibatnya, tiada tahun berakhir tanpa berita menyedihkan berkaitan dengan nasib para pahlawan devisa ini di negeri orang, dari yang upah tidak dibayar, dianiaya majikan, menghuni penjara, hingga yang pulang dalam peti mati.

Tekanan ekonomi serta sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan di tanah air memaksa banyak orang meninggalkan sanak keluarga dan kampung halaman untuk menjadi buruh migran. Sayangnya, banyak di antara mereka yang tidak pernah merasa cukup terpenuhi kebutuhan ekonominya dengan hanya menyelesaikan satu kali masa kontrak kerja.

Salah satu sebab buruh migran selalu berkeinginan kembali ke luar negeri setelah masa kontrak kerjanya usai adalah pemanfaatan hasil kerja yang kurang tepat. Selama ini, hampir semua buruh migran selalu mengirimkan sebagian (besar) upahnya di luar negeri kepada keluarga mereka di tanah air. Tahun ini, misalnya, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memperkirakan jumlah remitansi tenaga kerja Indonesia yang dikirimkan ke kampung halaman mencapai Rp 65 triliun.

Sayangnya, selain dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan melunasi hutang, uang kiriman tersebut seringkali juga berubah wujud menjadi aset-aset yang bersifat konsumtif dan sama sekali tidak produktif seperti rumah mewah, sepeda motor, kulkas, televisi, atau peralatan elektronik lainnya.

Sementara itu, karena keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia di kampung halaman, ketika para pahlawan devisa ini telah menyelesaikan masa kontrak kerja dan kembali ke tanah air, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup kecuali menggunakan dana tabungan hasil memeras keringat bertahun-tahun di negeri seberang. Ketika tabungan telah habis terkuras, atau segala aset telah habis terjual, tidak ada pilihan yang tersedia selain kembali mengadu nasib di rantau orang.

Kondisi ini diyakini terkait dengan rata-rata melek keuangan (financial literacy) para buruh migran yang tampaknya cukup rendah. Mengacu pada survei Bank Dunia (2009), 32 persen atau sekitar 76 juta penduduk sama sekali belum tersentuh jasa keuangan atau “financially excluded”.

Sementara itu, sekira 60-70 persen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga belum memiliki akses terhadap perbankan. Padahal, hampir 53 juta masyarakat miskin bekerja di sektor UMKM. Financial illiteracy juga dipercaya lebih tinggi di wilayah pedesaan, di mana justru menjadi kantong-kantong pemasok buruh migran ke luar negeri.

Padahal, pengetahuan yang lebih baik tentang bagaimana memanfaatkan uang hasil bekerja di luar negeri akan dapat mencegah atau mengurangi fenomena buruh migran yang merasa tak cukup hanya bekerja satu kali masa kontrak, dan harus terus menerus memperpanjang kontrak kerja dengan meninggalkan keluarga yang dicintainya.

Dalam hal inilah perbankan dapat mengambil peran penting dalam kerangka financial inclusion. Perbankan dapat menyelenggarakan beragam penyuluhan atau pelatihan untuk meningkatkan tingkat melek keuangan (calon maupun mantan) buruh migran, sehingga hasil mereka memeras keringat di luar negeri tidak lagi hanya dimanfaatkan untuk membeli aset-aset yang bersifat konsumtif dan tidak produktif.

Keberhasilan kegiatan financial inclusion di kalangan buruh migran ini selain akan bermanfaat bagi buruh migran sendiri juga akan mendatangkan keuntungan bagi pihak perbankan. Buruh migran akan memiliki pengetahuan dan akses yang lebih baik pada lembaga keuangan, sehingga dapat memanfaatkan dana hasil berkarya di luar negeri dengan lebih baik dan produktif, misalnya dengan menggunakannya sebagai modal untuk memulai atau mengembangkan usaha.

Sementara itu, potensi dana masyarakat yang belum mengenal perbankan saat ini diperkirakan mencapai Rp 100 triliun, sedangkan perbankan baru bisa menghimpun Rp 3,2 triliun dari 3 juta rekening nasabah melalui produk Tabunganku. Dari data di atas tergambar bahwa perbankan juga akan dapat memperoleh manfaat dari meningkatnya literasi keuangan di kalangan buruh migran, baik dari sisi pendalaman pasar keuangan (financial deepening) yang berkaitan dengan penghimpunan dana maupun penyaluran kredit.

Dari aspek ekonomi makro, keberhasilan kegiatan financial inclusion ini juga akan dapat meningkatkan kontribusi perbankan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui fungsi intermediasi, sehingga rasio simpanan terhadap PDB maupun penyaluran kredit terhadap PDB yang saat ini masing-masing baru mencapai 37,50 persen dan 29,62 persen diharapkan akan meningkat.

This article is originally published here.

Leave a comment